TEORI TEMPAT PUSAT
CHRISTALLER
Dan CONTOH KASUS PERMASALAHAN
Teori tempat
pusat disebutkan oleh Wlater Christaller ( 1933) dan August Losch (1936),
beliau mengembangkan satu teori yang dapat dipergunakan sebagai kerangka
analisis untuk membahas hal tersebut. Teori pusat merupakan suatu permukiman
yang menyediakan barang dan jasa- jasa bagi penduduk local dan daerah
belakangnya. Pada teori tempat pusat juga menjelaskan tentang hubungan keterkaitan antara social –
ekonomi dan fisik yang saling mempengaruhi.
Sebuah kota atau pusat merupakan inti dari berbagai kegiatan
pelayanan, sedangkan wilayah di luar kota atau pusat tersebut adalah daerah
yang harus dilayaninya, atau daerah belakangnya (hinterland). Sebuah pusat yang kecil akan memberikan penawaran
pelayanan yang lebih terbatas jika dibandingkan dengan pusat yang lebih besar. Jarak wilayah yang
dilayaninyapun relatif lebih dekat dengan luasan yang kecil (Knox, 1994). Guna mengetahui kekuatan dan keterbatasan
hubungan ekonomi dan fisik suatu kota atau pusat dengan wilayah sekelilingnya,
seorang ahli geografi, Walter Christaller, melakukan sebuah penelitian. Penelitian ini dilakukan di Jerman bagian selatan,
di daerah perdesaan (Hartshorn, 1980). Dan teori tersebut dinyatakan sebagai
teori tempat pusat ( Central Place Theory) oleh Christaller.
Menurut Christaller, tidak semua kota dapat menjadi pusat
pelayanan. Dan pusat pelayanan harus
mampu menyediakan barang dan jasa bagi penduduk di daerah dan kawasan
sekitarnya. Christaller menyatakan bahwa dua buah pusat permukiman yang memiliki
jumlah penduduk sama tidak selalu
menjadi pusat pelayanan yang sama penting.
Istilah kepusatan (centrality) digunakan untuk
menggambarkan bahwa besarnya jumlah penduduk dan pentingnya peran sebagai
tempat terpusat (central place).
sekitarnya. Pada teori Christaller menyebutkan
sistem keruangan yang optimum berbentuk heksagonal dengan pusat kegiatan
terdapat di tengah pola.Namun, Christaller juga menyebutkan bahwa dalam
struktur keruangan kota terdapat hirarki, dimana tempat dengan hirarki yang teratas
mampu memenuhi kebutuhan tempat di hirarki bawahnya. Semakin tinggi jumlah
hirarki kota maka jumlah kota semakin tinggi, begitupun sebaliknya.
Selain itu terdapat elemen pada teori tempat pusat yakni batas ambang
yang berarti adanya jumlah penduduk tertentu yang mendukung keberadaan fungsi
tertentu. Ambang batas didefinisikan sebagai jumlah minimum kegiatan perdagangan
(dalam satuan moneter) yang dibutuhkan oleh seorang wiraswastawan untuk
mempertahankan kegiatan bisnisnya. Frekuensi penggunaan
jasa berpengaruh terhadap batas ambang. Tidaklah mudah untuk mengukur ambang
batas dan kepusatan. Ambang batas seharusnya diukur dengan menggunakan satuan
moneter, tetapi tidak mudah mendapatkan angkanya. Karena itu, untuk mengukur ambang batas
digunakanlah jumlah orang yang membutuhkannya.
Teori Christaller mengungkapkan beberapa
asumsi yang terkait dengan penyusunan teorinya, antara lain:
1. bahwa konsumen diwajibkan menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke
tempat pusat dinyatakan dalam biaya dan waktu.
2. Jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan
dalam biaya dan waktu. Range of goods merupakan jarak dimana penduduk dapat
melakukan perjalanan untuk mendapatkan pelayanan atau fungsi.
3. Konsumen juga memilih tempat pusat yang paling dekat untuk
mendapatkan barang dan jasa.
4. Kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah disekitarnya.
5. Wilayah tersebut adalah suatu dataran yang rata, mempunyai cirri-
cirri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar secara merata.
Terbentuk pola heksagonal pada teori tempat pusat seperti pada
gambar berikut ini :











Penjelasan:
- Tahap I : terdapat satu tempat
pusat, dimana banyak terdapat hinterland yang belum dapat terlayani.
- Tahap
II :
tumbuhnya beberapa tempat pusat yang dapat melayani kebutuhan di beberapa
kawasan sekitarnya, namun masih terdapat beberapa hinterland yang beum
terlayani.
- Tahap
III : beberapa
hinterland bersinggungan, dimana kawasan tersebut menjadi rebutan antara
tempat pusat satu dengan lainnya.
- A : merupakan
pembentukan tempat pusat, dan pembentukan hinterland.
- B : merupakan
pembentukan kawasan hinterland yang saling bersinggungan.
- C : Merupakan
bentuk dari heksagonal pada teori pusat Christaller.
Contoh kasus perdagangan khususnya pusat perbelanjaan di Kota Solo
Kota Solo memiliki batasan wilayah sebagai berikut:
Utara : Kabupaten
Karnganyar
Selatan: Kabupaten Sukoharjo
Barat : Kabupaten Sukoharjo
Timur : Kabupaten Karnganyar

Gbr. Citra Kota Solo dan sekitarnya
Analisis kasus:
Menurut
Christaller :
·
Kota berfungsi sebagai tempat
pusat bagi wilayah disekitarnya.
Dalam
kasus ini Kota Solo menjadi pusat perdagangan bagi wilayah di sekitarnya.
·
bahwa konsumen diwajibkan
menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat dinyatakan dalam biaya
dan waktu.
·
Jangkauan (range) suatu barang
ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu. Range of goods
merupakan jarak dimana penduduk dapat melakukan perjalanan untuk mendapatkan
pelayanan atau fungsi.
·
Konsumen juga memilih tempat
pusat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa.
Oleh karena itu Hinterland Kota Solo merupakan
kawasan di sekitarnya yang tidak jauh jaraknya, hal ini terjadi karena
dipengaruhi oleh Range of goods, yaitu jarak yang masih dapat ditempuh oleh
konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan, sedangkan konsumen
akan memilih tempat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa. Tempat
yang paling dekat jaraknya akan dipilih oleh konsumen dikarenakan lebih efisien
dalam waktu dan biaya yang diperlukan dalam menempuh pusat perdagangan
tersebut.
Oleh karena nya, berdasarkan tiga asumsi dari
Christaller tersebut, Hinterland Kota Solo merupakan wilayah yang dekat
jaraknya dengan kota Solo yaitu Kabupaten Karanganyar,
Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Wonogiri dan Solo merupakan pusat perdagangan dari wilayah
tersebut.
·
Christaller menyebutkan bahwa
sistem keruangan yang optimum adalah heksagonal dengan pusat kegiatan terdapat
di tengah pola.
Kota Solo yang merupakan pusat perdagangan berada
di pusat pola dengan kawasan Hinterlandnya adalah kawasan di sekitarnya yaitu Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Sukoharjo, dan
Kabupaten Wonogiri.
Namun pola yang di bentuk oleh kawasan Hinterland
disekitarnya tidaklah berupa heksagonal seperti yang diungkapkan oleh Christaller sebagai sistem
keruangan yang optimum.


Gbr. Citra pola hubungan pusat dan hinterland
Hal ini menunjukan bahwa tidak selamanya sistem keruangan yang ada memiliki
bentuk heksagonal. Karena dalam pembentukan sistem keruangan ini dipengaruhi
banyak faktor, terutama faktor batas administratif dan faktor pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi.
Batas administratif turut menentukan batasan wilayah pelayanan yang dapat
dilakukan oleh suatu kota, tidak selamanya batas administratif dan batas
pelayanan memiliki pola lingkaran seperti yang diasumsikan oleh Christaller,
sehingga sistem keruangan tidak selamanya akan berakhir dengan bentuk
Heksagonal.
Faktor pertumbuhan dan perkembangan ekonomi mempengaruhi jumlah titik yang
berfungsi sebagai tempat kota, tidak selamanya titik-titik itu akan tersebar
merata sehingga membentuk pola yang teratur dan membentuk sistem heksagonal.
Titik tersebut akan tumbuh sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi sehingga
tidak akan tersebar merata seperti yang diasumsikan dalam teori Christaller,
sehingga tidak selamnya akan memebentuk pola heksagonal.
·
Menurut Christaller, konsumen
memilih tempat pusat yang paling dekat untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kasus
ini, terdapat pusat kegiatan lain yakni Kota Jogja. Kabupaten Sukoharjo lebih
memilih Kawasan mall di Kota Solo dibandingkan dengan mall di Kota Yogyakarta,
dengan pertimbangan jarak tempuh.

Gbr. Citra Kota Solo dengan Kota Jogja
·
Wilayah tersebut adalah suatu dataran
yang rata, mempunyai ciri- ciri ekonomis sama dan penduduknya juga tersebar
secara merata.
Asumsi
Christaller ini tidak relefant lagi di wilayah Solo, Solo bukan merupakan
dataran yang rata, Kota Solo memiliki tingkat kelerengan yang beragam dan
memiliki bentuk lahan yang beragam.
Selain
itu, penduduk di kota Solo, maupun di kota lainnya di sekitar Solo, tidak
tersebar secara merata, hal ini disebabkan mobilitas penduduk yang sudah sangat
tinggi disebabkan moda transport yang berkembang serta perkembangan ekonomi
yang tidak merata di tiap tempat menyebabkan arus pengelompokan penduduk di
titik yang pertumbuhan dan perkembangan ekonominya mengalami kemajuan yang
pesat dan terjadi nya Urbanisasi.
Sehingga
asumsi bahwa wilayah Solo merupakan dataran yang rata dimana persebaran
penduduknya merata dan tingkat perekonomiannya sama tidak lagi relefant.
mas, saya bisa minta gambar gambarnya gak? mohon bantuannya yah mas.
BalasHapus